Opini: Prestasi, PSSI, dan Kutukan yang Tak Berujung

Pengamatsepakbola.com - Sulley Muntari marah besar saat golnya tak disahkan oleh Paulo Tagliavento. Ia merajuk, geram, dan konon, diakhiri dengan sebuah kalimat sakti yang oleh banyak orang disebut kutukan.

Malam itu, 25 Februari, langit di Kota Milan menjadi Merah-Hitam. Milanisti berbondong-bondong datang ke San Siro untuk menjadi saksi kemenangan AC Milan atas Juventus.

Juventus dan AC Milan sama-sama bersaing memperebutkan gelar Serie A. Kemenangan di laga ini memang tak serta merta membuat salah satu dari mereka menjadi juara, namun bisa meningkatkan moral dan peluang merengkuh scudetto.

AC Milan unggul cepat pada menit ke-14 melalui Antonio Nocerino. Sepuluh menit berselang, I Rossoneri menggandakan keunggulan melaui Muntari. Bola telah melewati garis, namun Tagliavento bergeming.

Ia menganggap bola belum melewati gawang saat Gianluigi Buffon berusaha membuang bola. Muntari kesal bukan main.

 dok. ESPN

 

Baca juga: Nyaris Gagal Berangkat, Timnas Futsal Justru Sukses Ciptakan Sejarah di SEA Games 2021

 

Setelah pertandingan, Muntari mengutarakan kekesalannya terhadap Buffon. “Dia melihat bahwa bola jelas melewati (garis). Saya tidak punya idola dalam sepak bola. Namun, saya pikir Buffon adalah seorang juara yang penuh dengan fairplay," kata Muntari.

Entah muncul dari mana, Muntari disebut-sebut mengeluarkan kutukan: jika Buffon belum mengakui golnya, maka Juventus tidak akan menjadi juara Liga Champions.

Kalimat sakti tersebut sejauh ini menunjukkan tajinya. Juventus belum merengkuh gelar Si Kuping Besar, meski dua kali masuk ke final. Bahkan, seorang Cristiano Ronaldo pun tak bisa memberikan gelar yang diidamkan Publik Turin tersebut.

Kisah kutukan-kutukan di dalam sepakbola ada banyak. Paling terkenal adalah kutukan Bella Guttmann yang mengutuk Benfica tak akan meraih gelar di Eropa selama 100 tahun. Kutukan itu muncul setelah Benfica menolak menaikkan gaji sang pelatih.

Jauh dari Portugal dan Italia, muncul pula kutukan di Indonesia. Timnas Indonesia seakan seret gelar dan mayoritas gagal di partai puncak.

Khusus di ajang SEA Games, kali terakhir mendapat emas tahun 1991. Kala itu, PSSI dipimpin oleh Kardono. Pejabat teras yang dekat dengan penguasa. Di era Kardono pula, label “Macan Asia” kembali disematkan ke Indonesia.

Setelahnya, Indonesia melempem. Kutukan runner up seakan menghantui. Terbaru, Pasukan Garuda kalah di laga final dari Thailand di ajang Piala AFF.

dok. PSSI

 

Baca juga: 2 Momok Pelatih yang Selalu Jadi Mimpi Buruk Bagi Shin Tae-yong

 

Di ajang SEA Games 2021, kutukan itu berlanjut. Namun, kali ini jauh lebih tragis: kalah di semifinal.

Dugaan saya, kekalahan ini bukan kekalahan biasa. Tuhan seakan memberikan kutukan kepada sepakbola Indonesia agar selalu gagal di segala turnamen.

Kutukan ini bisa lepas dengan satu syarat: PSSI harus dipimpin oleh sosok yang benar-benar ingin menghidupi sepakbola, bukan mencari kehidupan lewat sepakbola.

Selama saya mengikuti sepakbola, sejak era Nurdin Halid sampai saat ini, mayoritas berkubang dengan politik.

Di jagat maya, sedang heboh soal artikel PSSI yang memuat tiga foto Ketum dibanding pemain. Padahal, artikel tersebut beirsikan match report pertandingan Indonesia kontra Thailand.

Bukannya tak boleh, memang tak ada larangan, namun dalam pandangan orang awam, tentu tak elok. Saya mengharapkan foto-foto perjuangan para pemain lebih banyak terpampang dibanding foto di samping lapangan yang tak berarti apa pun.

Hingga akhirnya saya yakin, bahwa selama PSSI masih dijadikan alat politik dan dipimpin oleh orang yang t̶i̶d̶a̶k̶ kurang kompeten, maka prestasi hanya sebatas mimpi. Dan kita akan dikutuk menjadi negara yang mencintai sepakbola, bukan negara yang ingin berprestasi di bidang sepakbola.

 

Note: Ayo Mainkan, menangkan, kumpulkan poin sebanyak-banyaknya dan rebut hadiah keren dengan hanya memainkan Game Seru BRI Liga 1! Caranya Download dulu aplikasi Pengamat Sepak Bola di sini

Berita Terkait